BECOMING

I Wayan Setem, SEMANGAT FAJAR DIALOG GALANG KANGIN

The Neka Art Museum Celebrates Its Silver Jubilee This July!

Kelompok Perupa GK didirikan dengan latar belakang berkembangnya isu penggabungan dua institusi seni, yakni Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD) Universitas Udayana dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar (sekarang menjadi ISI Denpasar). Banyak yang menduga penggabungan itu sebagai suatu kenyataan sulit karena latar dan sistem yang dianggap tak sama. Guna menepis opini itu, maka sejumlah mahasiswa dari dua institusi itu mendahului menjawab bahwa mereka bisa "seirama" dalam praktik dan visi kesenian.

Dengan beberapa kali proses pertemuan, maka pada tanggal 9 April 1996 para mahasiswa yang berlatar dari dua institusi seni (PSSRD Unud-STSI Denpasar) itu meresmikan GK pada 9 April 1996 dengan anggota yang terdiri dari Made Supena, Dewa Gede Soma Wijaya, Wayan Naya Swantha, Mede Galung Wiratmaja (PSSRD Unud), Wayan Setem, Nyoman Diwarupa, Made Ardika, Ketut Teler dan Made Sudana (STSI Denpasar).

Galang Kangin disepakati sebagai nama kelompok yang berarti "cahaya menjelang pagi" dalam pemahaman orang Bali. Dalam pengertian yang lebih luas, Galang Kangin dapat dimaknai sebagai memulai sesuatu dengan benar berdasarkan permulaan waktu kerja, di mana fajar mulai merekah di ufuk timur adalah sebentuk cahaya yang sehat, hangat dan fresh; pun bisa pula diberi arti sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan dari Timur.

Suatu kerja sama yang terjalin antara dua perguruan tinggi seni yaitu PSSRD UNUD dan STSI Denpasar yang didasari oleh kesamaan persepsi dan menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengkotakan maupun kubu diantara keduanya. Dengan kiprah bersama ini diharapkan akan semakin mempererat hubungan dan kerja sama yang pada akhirnya membuka dan memperluas wawasan intelektual yang dapat mendukung kemandirian di masyarakat. Disamping itu pula kiprah bersama ini tentunya bisa menghapus kecurigaan dan isu negatif.

GK berdiri ditandai dengan pameran perdana yang diikuti oleh para pendirinya di Museum Bali Denpasar. Pameran ini masih merangkum kebebasan style masing-masing anggota, dan yang utama memang mau dibangun ialah spirit kebersamaan dalam memajukan seni rupa Bali, sekurangnya menjadi wadah bersama untuk melakukan praktik-praktik seni rupa di luar jalur pendidikan formal.

A.A Rai Kalam menulis ungkapan kata dalam katalog pameran pertama GK

Pameran ini sangat tepat dalam rangka mempelajarkan diri untuk sebuah proses pendewasaan yang mengantarkan pada kematangan pribadi. Imbas lain tentunya bisa meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni lukis. Lewat pameran ini seyogyanya dimanfaatkan sebagai ajang dialog secara optimal guna melahirkan gagasan-gagasan baru dan greget kreatif untuk mengekplorasi seni budaya yang lebih luas. Akan menjadi sangat penting artinya dialog yang terjadi dalam pengertian dan dalam bentuk apapun ketika menempa kejujuran diri sendiri dalam berkesenian. Kunci keberhasilan mereka terletak pada pendisiplinan diri, semangat pengabdian dan kesetiaan pada dunia seni rupa baik itu berupa kreatifitas penciptaan maupun dalam aktifitas publikasi untuk memasuki medan pergulatan dan komunikasi yang lebih luas. Ada sesuatu yang menggembirakan setelah melihat keberanian mereka untuk menyatakan diri yang tanpa dibelenggu oleh batasan-batasan akademis dan mereka memiliki kesungguhan dan optimisitas dengan keberadaannya sebagai seorang seniman muda yang pada akhirnya akan meramaikan kancah kesenirupaan di tanah air.

Sepanjang 1996-1999 GK sempat stagnan dan belum bisa melakukan kegiatan. Barulah kemudian pada tahun 2000 kembali berkreativitas dengan mengawali berpameran di Santra Putra Art Galery di Penestanan Ubud yang diikuti anggota inti ditambah dengan peserta "tamu", yakni Wayan Karja dan Muliana. Pada katalog pameran, pengamat budaya Putu Wirata Dwikora memberi pengantar pameran.

Pada tahun 2000 itu juga ketua kelompok GK yang semula adalah Wayan Setem karena kesibukannya sebagai staf pengajar pada almamaternya akhirnya diganti oleh Made Supena. Pergantian ini dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. Made Supena dipilih berdasarkan pertimbangan memiliki waktu dan aktivitas keorganisasian yang memadai.

Pada tahun 2001 GK mulai melibatkan Thomas U. Freitag sebagai kurator dalam beberapa kali pameran kelompok. Keterlibatan Thomas sebagai kurator sempat pula "menghebohkan" dan menimbulkan pro dan kontra tentang keberadaan kurator asing. Sejumlah pameran sejak 2001 telah pula diselenggarakan yakni: Pameran Narsisisme dan Mobilitas (Museum Sidik Jari, Denpasar), Landscape Mistic (Galeri Paros, Sukawati-Gianyar, Figur (Galeri Santra Putra, Penestan-Ubud), Rahasia Bujur Sangkar (Galeri Sembilan, Lod Tunduh-Ubud dan beberapa yang lain. Pada bulan April 2002 GK juga mengadakan kemah budaya sehari di Padepokan Cilimas Tejakula, Buleleng bersama Hardiman, Thomas U. Freitag serta Nyoman Tusan.

Dalam perantauan di wilayah kesenian, GK menyadari pentingnya keberadaannya dalam hubungan dengan kelompok-kelompok seniman yang lain serta posisinya di kancah perkembangan seni rupa. Situasi pencarian kreatif dan perenungan itu akhirnya melahirkan "Manifesto Galang Kangin II" pada 21 Juni 2002 bertepatan dengan pameran di Galeri Soely Denpasar, yang memperlihatkan pernyataan dan cara pandang terhadap posisi GK dan ideologi berkesenian. Pada saat ini juga Made Gunawan, AA Putra Dela, Nyoman Ari Winata, Made Budi Adnyana, dan Ni Made Trisnawati bergabung. Setelah perhelatan Manifesto Trisnawati tidak aktif dalam keanggotaan. Pada pameran In the Name of Identity di Tanah Tho Galery, Lod Tunduh Ubud 8 Oktober 2010 tidak diikuti oleh I Made Budi Adnyana dan pada pameran KUTA di Gaya Galery Ubud 7 Mei 2011, Adhe Kurniawan (Lie Pingping) dan Ni Komang Atmi Kristiadewi bergabung dalam keanngotaan, namun Ketut Teler sementara waktu tidak aktif dalam keanngotaan. Pada pameran Two Demension di Restu Bumi Galery Ubud 9 April 2016 Ketut Agus Murdika bergabung, menyusul Sudarwanto, dan Edy Asmara di tahun 2017. Pada tahun 2003 GK berkolaborasi dengan kelompok Art of Humanity dalam Interaksi di Taman Budaya Surakarta, dan kegiatan yang sama juga digelar Taman Budaya Bali pada 5 Januari 2005.

GK menjadi inspirasi, diharapkan nuansa yang terekspresikan seperti juga segarnya matahari yang terbit dari timur. Dengan semangat fajar sebuah dialog nyata telah tercipta, semoga misi ini berbunga dan menghasilkan buah yang baik bukan hanya untuk kami tetapi untuk kita semua.

Hardiman, (detail)
Becoming
15 February – 15 March

Pada masa modernisme ada keyakinan yang dianut oleh para seniman, bahwa setiap seniman harus memiliki identitas yang mempribadi, yang hanya dimiliki oleh dirinya saja. Identitas ini adalah identitas karya yang terbaca secara formal. Artinya unsur visual seperti garis, bidang, warna, dan tekstur memperlihatkan kepribadian sang seniman. Unsur estetik lainnya serupa komposisi, keseimbangan, dan konvigurasi juga harus memperlihatkan kepribadian sang seniman. Saking kuatnya anutan ini, maka sangat sering kita mendengar sebutan "ini garis Nashar", misalnya; "hijau Popo Iskandar"; "horizon Srihadi", dan sebutan-sebutan visual lainnya yang telah diidentifikasikan milik seniman tertentu.

Apa-apa yang dianut oleh seniman ini, pada masa itu, dikukuhkan atau dikuatkan oleh pandangan kritikus. Sering kali kritikus mentasbihkan seseorang menjadi seniman karena ciri visual atau ciri estetik pada karya seniman tersebut telah diidentifikasikan sebagai milik pribadi seniman tadi. Dengan demikian, karena seniman tersebut telah memiliki kekhasan visual dan atau estetiknya, maka ia “resmilah” menjadi seniman atas pengakuan sang kritikus.Kata kunci dari semua ini adalah identitas. Pada masa modernisme itu identitas dianggap hal pokok dan prinsip yang harus dimiliki oleh seniman. Identitas juga dimaknai sebagai kepribadian. Dan, kepribadian dianggap sebagai semacam "temuan" atas eksperimen, eksplorasi, atau kerja studio sang seniman yang disejajarkan dengan kerja laboratorium seorang ilmuwan. Dengan demikian, identitas adalah semacam ideologi yang harus ditumbuhkan dalam kerja kesenian. Sebagai ideologi atau serupa cita-cita yang dibangun dalam harapan, maka identitas sering kali hadir atau bahkan dihadirkan dalam dunia yang dibayangkan.Dampak dari pola berpikir semacam ini adalah munculnya perasaan atau pengakuan atas identitas yang kemudian dipertahankan sekuat mungkin oleh seniman demi pengakuan yang makin kuat atas apa yang disebut sebagai kepribadian. Mempertahankan kepribadian ini pada akhirnya menjelma menjadi pengentalan yang berlebihan. Pengentalan ini menjadikan sang seniman terus menerus bergerak di wilayah estetika yang itu-itu saja. Jalan ditempat atau stagnan pada akhirnya bisa dilekatkan pada kerja kesenian sang seniman semacam itu. Identitas pada masa itu bisa diartikan hanya sebagai identitas yang permanen.

Kini, pemikiran posmodernisme meragukan apa-apa yang dihadirkan oleh kaum modernisme. Kaum posmodernisme meyakini bahwa gaya atau style kultural ditandai oleh intertektualitas, ironi, pastiche, bricolage, dan kaburnya batas-batas genre. Dengan demikian bahasa kesenian kaum posmodernisme pun tidak berdiam pada apa yang disebut sebagai kekhasan atau kepribadian. Tetapi ia bisa merefrensi pada sumber-sumber lain: teks sejenis, kesenian masa lalu, dan hal-hal lain. Bahkan mengambil sumber lain tadi bisa berupa kutipan, copy, atau copy dari copy, termasuk juga mencuri secara sadar. Di posisi ini, seniman mengapropriasi karya seniman lain pada masa sebelumnya. Ini bisa dilakukan dalam berkarya

Identitas dalam konsep kaum posmodernisme tidak lagi sebagai kepribadian yang tiada duanya tetapi identitas itu adalah sesuatu yang terus tumbuh, bergerak, dan berubah-ubah menuju ke titik tujuan yang juga tidak berdiam di satu tempat atau di satu ruang. Identitas adalah proses "menjadi" (becoming) yang dibangun dari noktah-noktah kesamaan dan perbedaan. Barker (2014) 1) menilai bahwa tidak esensi identitas yang mau digali. Namun identitas harus terus menerus diproduksi dalam matra kesamaan dan perbedaan. Jadi, identitas, tegas Barker, bukanlah sebuah esensi melainkan deskripsi tentang diri kita yang terus menerus bergeser sehingga makna kategori-kategori identitas seperti kulit hitam, orang Inggris, maskulin, mungkin tidak luput dari penundaan yang kontinyu lewat proses "penambahan" (supplementarity) atau differance tanpa henti. Dalam hal ini, mengingat makna tidak pernah selesai atau komplit, identitas menggambarkan sebuah potongan atau snapshot dari gugus makna yang pelan-pelan menyingkapkan dirinya. Argumen di atas menunjuk pada kodrat politis dari identitas sebagai sebuah "hasil produksi" dan pada kemungkinan model identitas yang majemuk, "mudah bergeser" (shifting) dan terfragmentasi yang bisa diartikulasikan secara bersamaan dalam sejumlah cara. Barker mengutip pendapat Stuart Hall 2) yang mengatakan sesuatu tentang "ketidak mungkinan" identitas sekaligus "signifikansi politis"-nya. Identitas yang luwes plastis, penting secara politis sebab pertarungan mengenai pelbagai makna kategori identitas tidak bisa tidak ikut membentuk "jati diri kita" (the very kinds of people we are becoming). Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tidak ada identitas tunggal yang bertindak sebagai identitas yang "total menyeluruh" (overarching), melainkan pelbagai identitas yang bergeser seturut bagaimana subjek dikenali atau direpresentasikan. Ringkasnya, tegas Barker, kita dibentuk oleh mosaik kemajemukan identitas. Jika orang menerima argumen ini, maka yang tampak sebagai "kesatuan" identitas sebaiknya dipahami dalam kerangka artikulasi unsur-unsur yang berbeda dan terpisah yang, dalam sirkumstansi historis dan kultural tertentu, dapat diartikulasikan kembali dalam sejumlah cara yang berbeda-beda. Maka, individu-indivudu adalah artikulasi yang unik, spesifik historis dari unsur-unsur diskursif yang bersifat kontingen namun juga ditentukan atau diatur secara sosial.

Perkara karakteristik, konsep atau batasan tentang identitas ini menarik membincangkannya pada karya-karya perupa kelompok GK. Karya-karya mutakhir kelompok GK menunjukkan adanya tanda-tanda pengingkaran terhadap makna identitas seperti yang didengungkan kaum modernisme. Identitas yang kemudian mudah terbaca dari sebagian besar karya anggota kelompok GK ini adalah identitas dalam konsep posmodernisme, yakni identitas dalam pengertian proses menjadi (becoming).

Sepintas kita bisa melihat tanda-tanda yang memperlihatkan jejak (indeks) dari masa lalu karya mereka. Jejak ini kemudian bergingsut, bergeser, bahkan pergi jauh meninggalkan pokok bahasan semula. Indeks, sebagai jejak tentu saja ia bukan citra sesungguhnya, melainkan sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.Karya-karya terbaru kelompok GK ini mengalami semacam pengalihan suasana, mood, stimulus, atau hasrat dalam batasan proses kreatif guna menghindari kerja kesenian yang terus menerus bergerak di tempat yang sama. Bagi para perupa kelompok GK berada di tempat yang sama bisa menjebak mereka ke dalam kebekuan yang tak tersadari. Itu sebabnya para perupa kelompok GK ini kemudian bersepakat untuk melakukan sebuah perpindahan, pergingsutan, atau setidaknya tidak bergerak di tempat yang intinya ingin keluar dari zona nyaman.Tempat yang bermakna sebagai satu wilayah di mana sejumlah wajah saling bertemu dalam batas privat atau publik biasanya menunjukkan siapa seseorang pemilik wajah tersebut. Ini artinya tempat bisa membentuk identitas seseorang dalam pengertian sebagai identitas permanen. Itu sebabnya pandangan semacam ini memicu para perupa kelompok GK untuk keluar (mungkin juga keluar sejenak) dari identitas yang "terlanjur" dicapkan pada mereka. Upaya yang dilakukan oleh mereka adalah mengganti bahasa ungkap kekaryaan, media dan teknik, dan tema atau pokok karya.

Beberapa karya mereka memerlihatkan pergantian bahasa ungkap yang semula terbuka dan berterus terang, kini tertutup dan bersembunyi. Apresian akhirnya dihadapkan pada ulang alik proses pemaknaan dari karya kini ke karya lampau. Proses ulang alik ini lantaran dalam benak apresian telah tertanam horizon harapan tentang estetika formalistik kelompok GK. Kini dihadapan mata apresian, estetika formalistik tersebut hadir tidak dengan wajah yang penuh, tetapi samar-samar serupa indeks yang sekelebat membayang dalam lihatan. Bagi sebagian apresian suasana ini tentu akan melahirkan kegelisahan atau semacam kekecewaan karena hasrat mengkonsumsi nilai estetik formalistik tidak sepenuhnya bisa dipuaskan lewat karya-karya terbaru kelompok ini. Ini adalah sebuah risiko yang harus dipikul oleh para pelaku yang keluar dari zona nyaman. Kelompok GK menyadari akan risiko itu. tetapi, pilihan ideologi kesenian dewasa ini adalah juga kesadaran yang harus diambil dengan risiko yang menyertainya. Pilihan ini adalah berpihak pada proses menjadi (becoming).

Risiko ini juga harus dipikul oleh perupa kelompok GK yang memilih pergantian media atau teknik dalam proses berkaryanya. Pilihan dari media yang berwatak painting bergeser atau beralih ke media yang berwatak drawing, termasuk juga pilihan peralihan media dari yang kasat mata dua dimensi ke media yang tiga dimensi. Risiko ini pertama akan dipikul oleh perupa ketika ia memulai berkarya. Kebiasaan menggunakan media tertentu akan berpengaruh ketika media baru mulai dikenal. Keterampilan teknis tentu saja menjadi kendala. Risiko kedua dipikul oleh apresian yang sudah terlanjur mengenal seniman tertentu karena media tertentu yang biasa dipakainya. Ketika apresian melihat karya seorang seniman tertentu yang dikenalnya dengan media yang biasa dipakai seniman tersebut, kemudian ketika melihat nama seniman tersebut dengan media baru (asing) yang dipakainya, apresian akan berhadapan dengan keraguan bahkan ketidak percayaan. Ini adalah sebuah risiko yang harus dipikul oleh anggota kelompok GK.Satu lagi yang juga terbilang mencemaskan adalah peralihan tema atau pokok karya anggota kelompok GK ini. Sejumlah perupa kelompok GK dikenal publiknya karena tema karya yang biasa digarapnya. Tema atau pokok karya ini melekat serupa identitas permanen pada perupa tertentu. Kini ketika pokok karya yang biasa ditekuni malah ditanggalkannya dan beralih ke lain tema, maka risiko menghadang di depan seniman tersebut. Tentu saja yang pertama-tama menerima risiko itu adalah sang seniman. Ia perlu waktu untuk memilih tema lain di luar apa yang biasa digarapnya. Pilihan ini tentu saja juga berarti pilihan konsep dan pusat perhatian yang baru. Seniman harus mencari beragam refrensi, baik berupa teks verbal maupun teks visual guna memeroleh dan menguatkan pilihan tema baru tersebut. Risiko kedua seperti juga perkara peralihan ungkapan dan teknik yang harus dihadapi seniman adalah persoalan diri dan tema juga persoalan apresian dan pemahamannya yang terlanjur melekat terhadap tema yang biasa digarap sang seniman. Artinya, sekali lagi risiko ini berujung berupa beban bagi sang seniman. Ini adalah pilihan yang tak bisa dihindari karena praktik keluar dari zona nyaman.Sebagaimana seniman masa kini pada umumnya, kelompok GK mestinya memang tidak lagi percaya terhadap identitas yang bermakna sebagai kepribadian yang tiada duanya atau apa yang dibatasi dalam pengertian identitas permanen. Tetapi, identitas adalah sebuah proses menjadi (becoming).

Kendatipun dengan sadar para anggota kelompok GK ini sedang menjalani proses menjadi (becoming) namun tarik-menarik pemikiran atau keyakinan untuk tetap bertahan pada identitas yang telah melekat atau dilekatkan pada dirinya di satu sisi, dan di lain sisi keyakinan untuk bergerak ke wilayah proses menjadi yang tentu saja harus bergingsut atau meninggalkan apa yang selama ini telah menjadi miliknya. Hal ini bisa dengan mudah terbaca pada sejumlah karya anggota kelompok GK dalam pameran terbarunya.

Ada semacam jejak yang meninggalkan keterbacaan unsur-unsur visual berkas dari apa yang disebut sebagai identitas lama tadi. Jejak-jejak ini berebut tempat dengan unsur visual baru yang berperan sebagai penanda proses menjadi. Publik karya ini juga akan merasakan hal yang sama dengan seniman penggubahnya. Kesamaan terutama muncul karena kelompok GK sudah begitu akrab dengan publiknya melalui apa yang disebut sebagai ciri formalistik. Ciri inilah yang telah menjadi "identitas lama" atau wajah bahkan jiwa GK. Boleh jadi ini adalah semacam berkah yang menjadikan GK memiliki "kekhasan", tetapi di lain sisi ini bisa semacam belenggu atau bingkai yang membatasi proses kreatif para anggota kelompok GK. Sekali lagi, itu sebabnya pameran terbaru ini lebih memperlihatkan proses menjadi (becoming) sebagai upaya untuk keluar dari zona nyaman, dan terutama, memasuki wilayah kesadaran estetik seni masa kini

1 Lebih jauh tentang identitas lihat Barker, Chris, 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: PT Kanisius, hal. 132-134. 2 Stuart Hall dilahirkan di India Barat dan besar di Inggris. Hall sering menggunakan pascastrukturalisme dari Derrida dan Foucault untuk mengembangkan sebuah bentuk pascamarxisme yang memberi perhatian pada wacana, representasi, dan tema-tema seputar kapitalisme, identitas, dan politik yang muncul dalam budaya Barat pasca tahun